Wahai anakku,
dalam tidurmu kugantungkan asaku
Wahai anakku,
dalam lelapmu
ada asaku
ada galauku
ada takutku
Maafkan kami anakku
yang tlah terbiasa memarahimu
akibat himpitan masalah yang menerpaku
maafkan kami anakku
yang tlah berharap terlalu tinggi padamu
tanpa kami memahami bahwasanya engkau adalah pribadi
yang berdiri sendiri
dalam tubuh kecilmu
maafkan kami anakku
yang tak bisa menjadi orang tua ideal bagimu
yang hanya bisa berjuang semampu kami
tuk menjadi yang terbaik
yang kami mampu
Sering ku pandang senyummu
yang berusaha untuk menghiburku
tapi yang kami lihat adalah
engkau berusaha menyindirku
Sering kudengar cerita dan nyanyianmu
yang berusaha untuk menyenangkanku
tapi yang kami dengar
hanya ocehan yang menyakitkan telinga
Sering kulihat lari kaki-kaki kecilmu
tuk menunjukkan kemandirianmu
tapi yang kami lihat
adalah kenakalanmu
Maafkan kami anakku
yang hanya bisa berpikir dari sudut pandang
orang kalah
Anakku
dalam tidurmu
kugantungkan asaku
Jumat, 24 Juni 2011
In:
Curhat
Konsistensi
Cita-cita. Siapa yang nggak kenal ini. Sejak awal kita dikenalkan pada prinsip ini. Gantungkan cita-citamu setinggi langit, begitu kata orang-orang tua kita jaman dulu. So, banyak diantara kita yang bercita-cita setinggi langit. Jadi presiden. Itulah cita-cita tertinggi masa saya dulu. Di posisi kedua adalah dokter. Sedangkan untuk rangking tiga biasanya tentara atau polisi. Hmm, cita-cita yang luar biasa.
Tapi, pada kenyataannya banyak diantara kita yang sering berganti cita-cita. Saya sendiri waktu kecil maunya jadi pelukis. Kemudian begitu mulai besar berubah menjadi guru dan petani. Nah, waktu lebih besar lagi mau jadi pedagang. Kan duitnya banyak, begitu yang terlintas dalam pikiran saya.
Ada sebuah petikan cerita teman saya yang ngobrol sama keponakannya. Teman saya ini namanya Ida, sedangkan keponakannya namanya Fajri. Begini petikannya,
Ida: "Dik, kalau besar mau jadi apa?"
Fajri: "Mau jadi polisi"
Ida (berpikir sebentar): "kenapa?"
Fajri: "Polisi kan duitnya banyak."
Ida: " Kalau mau duitnya banyak mah nggak usah jadi polisi. Jadi tuyul aja, kalau nggak jadi babi ngepet. Duitnya pasti lebih banyak."
Fajri: "???!!"
Sedangkan anak saya lain lagi ceritanya. Sejak pertama kali saya tanya sampai detik ini dia nggak pernah beralih cita-cita. Saya nggak tahu bagaimana dia bisa konsisten mempertahankan prinsipnya. Padahal saya sendiri juga tidak habis mengerti apa alasan yang mendasarinya untuk bercita-cita seperti itu. Mau tahu cita-citanya? jadi "HANTU JEPANG"
Tapi, pada kenyataannya banyak diantara kita yang sering berganti cita-cita. Saya sendiri waktu kecil maunya jadi pelukis. Kemudian begitu mulai besar berubah menjadi guru dan petani. Nah, waktu lebih besar lagi mau jadi pedagang. Kan duitnya banyak, begitu yang terlintas dalam pikiran saya.
Ada sebuah petikan cerita teman saya yang ngobrol sama keponakannya. Teman saya ini namanya Ida, sedangkan keponakannya namanya Fajri. Begini petikannya,
Ida: "Dik, kalau besar mau jadi apa?"
Fajri: "Mau jadi polisi"
Ida (berpikir sebentar): "kenapa?"
Fajri: "Polisi kan duitnya banyak."
Ida: " Kalau mau duitnya banyak mah nggak usah jadi polisi. Jadi tuyul aja, kalau nggak jadi babi ngepet. Duitnya pasti lebih banyak."
Fajri: "???!!"
Sedangkan anak saya lain lagi ceritanya. Sejak pertama kali saya tanya sampai detik ini dia nggak pernah beralih cita-cita. Saya nggak tahu bagaimana dia bisa konsisten mempertahankan prinsipnya. Padahal saya sendiri juga tidak habis mengerti apa alasan yang mendasarinya untuk bercita-cita seperti itu. Mau tahu cita-citanya? jadi "HANTU JEPANG"
Rabu, 08 Juni 2011
In:
Curhat
Sekolah ke Belanda
Kemarin sore, pas aku baru pulang kerja, aku dikejutkan oleh sambutan anakku. Dengan berseri-seri dia bilang,"Ayah, Dean mau sekolah ke Belanda." Aku heran, darimana anak sekecil ini tahu Belanda. Telusur punya telusur, rupanya dia habis nonton iklan Indomie yang versi Beasiswa ke Itali.
Dulu sekali, pas jamanku masih seumuran sd, kami tahunya Belanda itu penjajah. Titik. Jahat, membuat sengsara bangsa Indonesia. Kami sama sekali tidak tahu informasi apapun tentang Belanda. Jangankan sekolah ke Belanda. Mendengar nama Belanda pun kami sudah ketakutan setengah mati.
Tapi kini aku bersyukur. Setidaknya anakku kini tidak lagi menerima informasi yang hanya dari satu sisi. Bahkan setahu dia sekolah ke Belanda itu enak. Bisa naik pesawat. Wong kami belum pernah naik pesawat sejauh ini. Paling banter naik busway. Itupun dia sudah seneng bukan main.
Mudah"an kesampaian ya anakku. Semoga bapakmu ini sanggup menyekolahkanmu kesana. Atau kita cari informasi buat dapetin beasiswa ke Belanda. Ada yang mau ikut?